DETAIL
Judul
|
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
|
ISBN / EAN
|
9789792279139 / 9789792279139
|
Author
|
|
Publisher
|
|
Publish
|
19 Januari 2012
|
Pages
|
512
|
Weight
|
250 gram
|
Dimension (mm)
|
14 x 200
|
Tag
|
Kau,
Aku dan Sepucuk Angpau Merah adalah karya Tere Liye yang pertama kali saya
baca. Berawal dari rasa penasaran karena Gramedia Pustaka Utama sebelumnya beberapa
kali telah mengadakan kuis yang berhubungan dengan novel-novel Tere Liye.
Bahkan kali ini Gramedia mengkhususkan untuk mengadakan lomba resensi novel
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Sempat muncul pertanyaan dalam diri saya,
apa hebatnya karya-karya Tere Liye sampai Gramedia begitu sering mengangkat ke dalam
kuis maupun lomba? Saya masih ingat waktu Gramedia membuat kuis dari tiga buku
karya Tere Liye: Ayahku (Bukan) Pembohong, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci
Angin ,dan Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, meminta pembaca memberi komentar
novel mana yang paling mereka sukai, begitu banyak respon positif dari pembaca.
Inilah salah satu faktor yang menyebabkan saya semakin ingin membaca tulisan
Tere Liye.
Jika
membaca siniopsis yang terdapat cover dibelakang novel Kau, Aku dan Sepucuk
Angpau Merah ada kalimat yang sangat menggelitik “Ah, kita tidak memerlukan
sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari
orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah. Nah
setelah tiba dihalaman terakhir, sampaikan, sampaikan ke mana-mana seberapa
spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.” Kalimat-kalimat itu begitu
provokatif, dan menantang saya untuk menjadi bagian yang menceritakan kepada
anda, kepada orang-orang seberapa spesialnya novel ini.
Cerita
ini berkisah tentang seorang pemuda bernama Borneo yang biasa dipanggil Borno.
Borno tinggal di rumah kayu di sebuah gang sempit di pinggiran sungai Kapuas
berdua dengan ibunya. Sebuah kejadian disaat umurnya dua belas tahun mengubah
hidup Borno, ia harus kehilangan ayahnya seorang pelaut tangguh yang meninggal
karena sengatan ubur-ubur. Satu kebaikan terakhir sebelum sang ayah meninggal,
ia mendonorkan jantungnya
Selepas
SMA berkali-kali Borno berganti pekerjaan, mulai dari buruh di pabrik karet
sampai penjaga palang pintu, memeriksa kartis penumpang kapal feri. Nasib
membuat Borno akhirnya bekerja sebagai pengemudi sepit-perahu kayu yang membawa
penumpang menyeberangi sungai kapuas. Melanggar wasiat sang ayah yang
memintanya agar jangan menjadi pengemudi sepit. Nasihat Pak Tua, lelaki
bijaksana yang hampir selalu bisa memberi jawaban atas pertanyaannya, dukungan
Bang Togar-sahabat dekat almarhum ayahnya, juga Cik Tulani dan Koh
Acong-pemilik toko kelontong membuat Borno bersedia menjadi pengemudi sepit.
Bahkan para pengemudi sempit di dermaga, penghuni gang, dan penumpang rela
mengumpulkan sumbangan demi memberikan kejutan sebuah sepit, Sepit Borneo.
Dari
sepit inilah awal kisah cinta terjadi antara Borno dengan seorang gadis
keturunan Cina, yang ia temui pada hari
pertama ia resmi mengemudikan sepit. Gadis itu meninggalkan sepucuk surat
bersampul merah, di lem rapi, dan tanpa nama. Gadis itu jugalah yang membuat
Borno sengaja menyalip antrian sepit agar dapat berada di antrian ke tiga
belas, pukul 7.15 sesuai jam keberangkatannya. Borno selalu menunggu selama 23
jam 45 menit setiap hari untuk bisa melewati 15 menit bersama Mei, si gadis
Cina.
Cinta
mereka bukanlah cinta sederhana yang dengan mudah bisa bersatu dan bahagia.
Kisah ini menjadi rumit karena ternyata Mei menyimpan rahasia masa lalu,
kepedihan yang membuat mei memilih meninggalkan Pontianak dan pulang ke
Surabaya. Kepergian Mei membuat Borno kehilangan gairah. Malam-malam dihabiskan
untuk memikirkan sang gadis. Pun begitu selalu ada Andi, sahabat baik borno dan
Pak Tua untuk berbagi cerita dan keluh kesah. Satu pesan Mei sebelum ia pergi
“Tetap semangat menarik sepit , Abang” itu yang selalu Borno ingat.
“Cinta
sejati adalah perjalanan, Andi,” Pak Tua berkata takzim. “Cinta sejati tidak
pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan
menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan
anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatru menjadi Kapuas.
Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula Cinta.”
Perjalanan
cinta juga yang membawa Borno menuju Surabaya, bersama Pak Tua yang melakukan
terapi penyembuhan. Benar kata Pak Tua “Cinta sejati selalu menemukan jalan,
Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi
sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang di rundung cinta justru sebaliknya,
selalu memaksa jalan cerita, khawatir, cemas serta berperangai norak lainnya.”
Borno menghabiskan waktunya untuk memakai koin demi koin demi menemukan Mei,
berbekal uang receh dan buku telepon ia
menghubungi baris-baris nama Sulaiman
dan Soelaiman, yang mungkin menjadi nama
keluarga Mei. “Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya.”
Tak dinyana, di tempat terapi Pak Tua, Borno kembali bertemu Mei yang sedang
mengantar Neneknya. Pertemuan yang membuat harapan baru bergemuruh di dadanya. Di
Surabaya Mei mengajak Borno dan Pak Tua mengelilingi kota. Kemudian Mei juga mengubah keputusannya, untuk kembali ke
Pontianak.
Kembalinya
Mei, tidak pelak membuat semuanya selesai. Tere Liye kembali mengaduk-aduk
pembaca dengan menghadirkan konflik melalui karakter Mei. Si Gadis berwajah
sendu dengan sikap keras kepalanya, dan Borno dengan gengsinya yang tinggi.
Pembaca dituntun dalam alur cerita campuran, dimana sesekali kita akan flashback kembali ke masa lalu.
Rangkaian alur yang ditata sedemikian elok, membuat kita terhanyut dan ikut larut
merasakan emosi perasaan Borno.
Tere
Liye memilih penokohan orang pertama, Aku sebagai sudut pandang Borno sang
tokoh utama membuat jalan cerita menjadi luwes. Novel ini mengajarkan kita
tentang arti sebuah cinta, bagaimana perjuangan demi meraih sebuah kebahagian
dan memaafkan. Karena cinta sejati selayaknya selalu memiliki lautan maaf buat
orang yang kita cintai.
Tidak
seperti kebanyakan novel roman lainnya yang mengedepankan adegan romantis
antara dua tokoh yang sedang dilanda cinta. Biarpun di novel ini tak ada adegan
mesra antara Mei dan Borno, namun plot-plot cerita yang dirangkai membuat kisah
ini sangatlah romantis dan manis. Cinta dalam seebentuk ketegaran, perjuangan,
tidak cengeng. Borno, Bujang berhati paling lurus, dengan cinta sejatinya.
Buat
yang ingin tau dan penasaran bagaimana akhir perjalanan cinta Borno, bacalah
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah secara lengkap. Anda tidak akan menyesal
melewatkan hari dengan mempelajari cinta lewat lembar-lembar kisah Borno. Cinta
tidak hanya berisi “galau” kata paling populer bagi sebagian besar pecinta saat
ini.
Buat
saya, setelah membaca novel ini jika boleh memberi rating di goodreads.com,
saya akan memberi rating 4.8 dari 5, karena hampir tidak menemukan bagian mana
yang menjadi cela. Sedikit yang membuat rasa penasaran saya belum terobati adalah tentang pengarang. Jika biasanya
pengarang akan banyak memberikan latar belakang kehidupannya lain halnya dengan
Tere Liye, tak ada biodata singkat yang bisa menjelaskan siapakah ia yang telah
menggoreskan kisah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah dengan begitu indahnya.
Bahkan setelah mencari di google, sangat minim informasi yang ada. Yang saya
tau beliau adalah seorang ayah juga seorang suami dari Riski Amelia (istri bang tere)
begitu yang saya dapat dari situs pribadinya.
Siapapun Darwis Tere Liye, beliau telah berhasil
membakar semangat saya untuk membagikan kisah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah untuk anda
semua, dan ingin segera membaca kisah lainnya yang ditulis beliau. Tidak hanya
membaca, tersimpan pula sepenggal mimpi besar agar kelak saya bisa menjadi
seorang penulis seperti Tere Liye yang tiap ceritanya memberikan inspirasi dan
makna tanpa kehilangan esensi utama yakni menghibur.