Welcome

Minggu, 24 Juni 2012

Lomba Resensi Gramedia Pustaka Utama & Tere Liye




DETAIL
Judul
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
ISBN / EAN
9789792279139 / 9789792279139
Author
Publisher
Publish
19 Januari 2012
Pages
512
Weight
250 gram
Dimension (mm)
14 x 200
Tag

Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah adalah karya Tere Liye yang pertama kali saya baca. Berawal dari rasa penasaran karena Gramedia Pustaka Utama sebelumnya beberapa kali telah mengadakan kuis yang berhubungan dengan novel-novel Tere Liye. Bahkan kali ini Gramedia mengkhususkan untuk mengadakan lomba resensi novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Sempat muncul pertanyaan dalam diri saya, apa hebatnya karya-karya Tere Liye sampai Gramedia begitu sering mengangkat ke dalam kuis maupun lomba? Saya masih ingat waktu Gramedia membuat kuis dari tiga buku karya Tere Liye: Ayahku (Bukan) Pembohong, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ,dan Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, meminta pembaca memberi komentar novel mana yang paling mereka sukai, begitu banyak respon positif dari pembaca. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan saya semakin ingin membaca tulisan Tere Liye.
Jika membaca siniopsis yang terdapat cover dibelakang novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ada kalimat yang sangat menggelitik “Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah. Nah setelah tiba dihalaman terakhir, sampaikan, sampaikan ke mana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.” Kalimat-kalimat itu begitu provokatif, dan menantang saya untuk menjadi bagian yang menceritakan kepada anda, kepada orang-orang seberapa spesialnya novel ini.
Cerita ini berkisah tentang seorang pemuda bernama Borneo yang biasa dipanggil Borno. Borno tinggal di rumah kayu di sebuah gang sempit di pinggiran sungai Kapuas berdua dengan ibunya. Sebuah kejadian disaat umurnya dua belas tahun mengubah hidup Borno, ia harus kehilangan ayahnya seorang pelaut tangguh yang meninggal karena sengatan ubur-ubur. Satu kebaikan terakhir sebelum sang ayah meninggal, ia mendonorkan jantungnya
Selepas SMA berkali-kali Borno berganti pekerjaan, mulai dari buruh di pabrik karet sampai penjaga palang pintu, memeriksa kartis penumpang kapal feri. Nasib membuat Borno akhirnya bekerja sebagai pengemudi sepit-perahu kayu yang membawa penumpang menyeberangi sungai kapuas. Melanggar wasiat sang ayah yang memintanya agar jangan menjadi pengemudi sepit. Nasihat Pak Tua, lelaki bijaksana yang hampir selalu bisa memberi jawaban atas pertanyaannya, dukungan Bang Togar-sahabat dekat almarhum ayahnya, juga Cik Tulani dan Koh Acong-pemilik toko kelontong membuat Borno bersedia menjadi pengemudi sepit. Bahkan para pengemudi sempit di dermaga, penghuni gang, dan penumpang rela mengumpulkan sumbangan demi memberikan kejutan sebuah sepit, Sepit Borneo.
Dari sepit inilah awal kisah cinta terjadi antara Borno dengan seorang gadis keturunan Cina, yang  ia temui pada hari pertama ia resmi mengemudikan sepit. Gadis itu meninggalkan sepucuk surat bersampul merah, di lem rapi, dan tanpa nama. Gadis itu jugalah yang membuat Borno sengaja menyalip antrian sepit agar dapat berada di antrian ke tiga belas, pukul 7.15 sesuai jam keberangkatannya. Borno selalu menunggu selama 23 jam 45 menit setiap hari untuk bisa melewati 15 menit bersama Mei, si gadis Cina.
Cinta mereka bukanlah cinta sederhana yang dengan mudah bisa bersatu dan bahagia. Kisah ini menjadi rumit karena ternyata Mei menyimpan rahasia masa lalu, kepedihan yang membuat mei memilih meninggalkan Pontianak dan pulang ke Surabaya. Kepergian Mei membuat Borno kehilangan gairah. Malam-malam dihabiskan untuk memikirkan sang gadis. Pun begitu selalu ada Andi, sahabat baik borno dan Pak Tua untuk berbagi cerita dan keluh kesah. Satu pesan Mei sebelum ia pergi “Tetap semangat menarik sepit , Abang” itu yang selalu Borno ingat.
“Cinta sejati adalah perjalanan, Andi,” Pak Tua berkata takzim. “Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatru menjadi Kapuas. Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula Cinta.”
Perjalanan cinta juga yang membawa Borno menuju Surabaya, bersama Pak Tua yang melakukan terapi penyembuhan. Benar kata Pak Tua “Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang di rundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksa jalan cerita, khawatir, cemas serta berperangai norak lainnya.” Borno menghabiskan waktunya untuk memakai koin demi koin demi menemukan Mei, berbekal  uang receh dan buku telepon ia menghubungi baris-baris  nama Sulaiman dan Soelaiman,  yang mungkin menjadi nama keluarga Mei. “Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya.” Tak dinyana, di tempat terapi Pak Tua, Borno kembali bertemu Mei yang sedang mengantar Neneknya. Pertemuan yang membuat  harapan baru bergemuruh di dadanya. Di Surabaya Mei mengajak Borno dan Pak Tua mengelilingi kota. Kemudian Mei  juga mengubah keputusannya, untuk kembali ke Pontianak.
Kembalinya Mei, tidak pelak membuat semuanya selesai. Tere Liye kembali mengaduk-aduk pembaca dengan menghadirkan konflik melalui karakter Mei. Si Gadis berwajah sendu dengan sikap keras kepalanya, dan Borno dengan gengsinya yang tinggi. Pembaca dituntun dalam alur cerita campuran, dimana sesekali kita akan flashback kembali ke masa lalu. Rangkaian alur yang ditata sedemikian elok, membuat kita terhanyut dan ikut larut merasakan emosi perasaan Borno.
Tere Liye memilih penokohan orang pertama, Aku sebagai sudut pandang Borno sang tokoh utama membuat jalan cerita menjadi luwes. Novel ini mengajarkan kita tentang arti sebuah cinta, bagaimana perjuangan demi meraih sebuah kebahagian dan memaafkan. Karena cinta sejati selayaknya selalu memiliki lautan maaf buat orang yang kita cintai.
Tidak seperti kebanyakan novel roman lainnya yang mengedepankan adegan romantis antara dua tokoh yang sedang dilanda cinta. Biarpun di novel ini tak ada adegan mesra antara Mei dan Borno, namun plot-plot cerita yang dirangkai membuat kisah ini sangatlah romantis dan manis. Cinta dalam seebentuk ketegaran, perjuangan, tidak cengeng. Borno, Bujang berhati paling lurus, dengan cinta sejatinya.

Buat yang ingin tau dan penasaran bagaimana akhir perjalanan cinta Borno, bacalah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah secara lengkap. Anda tidak akan menyesal melewatkan hari dengan mempelajari cinta lewat lembar-lembar kisah Borno. Cinta tidak hanya berisi “galau” kata paling populer bagi sebagian besar pecinta saat ini.
Buat saya, setelah membaca novel ini jika boleh memberi rating di goodreads.com, saya akan memberi rating 4.8 dari 5, karena hampir tidak menemukan bagian mana yang menjadi cela. Sedikit yang membuat rasa penasaran saya belum terobati  adalah tentang pengarang. Jika biasanya pengarang akan banyak memberikan latar belakang kehidupannya lain halnya dengan Tere Liye, tak ada biodata singkat yang bisa menjelaskan siapakah ia yang telah menggoreskan kisah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah dengan begitu indahnya. Bahkan setelah mencari di google, sangat minim informasi yang ada. Yang saya tau beliau adalah seorang ayah juga seorang suami dari Riski Amelia (istri bang tere) begitu yang saya dapat dari situs pribadinya.
Siapapun Darwis Tere Liye, beliau telah berhasil membakar semangat saya untuk membagikan kisah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah untuk anda semua, dan ingin segera membaca kisah lainnya yang ditulis beliau. Tidak hanya membaca, tersimpan pula sepenggal mimpi besar agar kelak saya bisa menjadi seorang penulis seperti Tere Liye yang tiap ceritanya memberikan inspirasi dan makna tanpa kehilangan esensi utama yakni menghibur.

4 komentar: